Di kampung Waitabar, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, kampung asli tradisi megalitik yang masih takluk sepenuhnya dalam aturan adat. Sore hari beberapa warga terlihat beraktivitas di depan rumah mereka.
Pulau Sumba memiliki kekayaan sumber daya energi terbarukan yang signifikan. Sumber daya air, matahari, angin, dan biogas dari ternak memiliki potensi tinggi dan belum tereksploitasi. Hasil berbagai riset kajian mengungkapkan itu.
Sumba yang terletak di timur kepulauan Nusantara inilah yang jadi implementasi pulau ikonis pertama. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana, di Jakarta (13/2), menyatakan, proyek pulau ikonis (iconic island) digagas dengan maksud memperlihatkan bahwa kebutuhan energi pulau kecil maupun sedang dapat dipenuhi melalui sumber-sumber energi terbarukan.
Inisiatif Sumba sebagai Pulau Ikonis sudah dimulai sejak 2009 oleh Hivos (Lembaga Kemanusiaan untuk Kerjasama Pembangunan) –suatu organisasi swadaya masyarakat Belanda, bersama pihak Bappenas dan Kementerian ESDM.
Menurut Dadan Kusdiana, Direktur Bionergi di Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, keterkaitan antara penyediaan energi dengan penurunan tingkat kemiskinan mungkin tidak langsung terlihat.
Namun Dadan yang ditemui saat acara rapat pleno Satuan Tugas Pulau Ikonis Sumba di Jakarta, Rabu (13/2) itu mengingatkan, pengembangan Pulau Ikonis Sumba akan menunjukkan bahwa akses energi merupakan pendorong dan penunjang bagi pembangunan.
“Energi juga pada akhirnya berarti meningkatkan kualitas hidup penduduk, dan menciptakan kondisi untuk membangun ekonomi setempat.”
Skenario seratus persen
Melalui fase demi fase persiapan, kerangka Cetak Biru dan Peta Jalan 2012-2025 disusun. Bulan Maret 2012, terbentuk Tim Satuan Tugas lintas sektoral yang bekerja bersama. Skenario jangka panjang itu adalah berambisi untuk menjadikan pulau ini 100 persen tidak lagi bergantung pada energi bahan bakar fosil di akhir program, alias 2025 mendatang.
“Kami yakin bahwa sebelum tahun 2025, energi terbarukan dapat menerangi rumah-rumah di Sumba, bangunan masyarakat, mendinginkan vaksin di kulkas dalam klinik, meningkatkan produksi pertanian dan membuka peluang berbagai bisnis kecil,” ujar Eco Matser, Koordinator Perubahan Iklim, Energi, dan Pembangunan Hivos.
“Kerja sama antar semua lembaga terkait, krusial dalam mencapai tujuan ambisius ini. Semua pemangku kepentingan akan berperan spesifik, tapi disatukan oleh visi dan target bersama. Pemangku kepentingan utama adalah masyarakat Sumba sendiri, yang akan menerima manfaat utama,” jelas Dadan Kusdiana.
Pulau Sumba merupakan bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Timur dan salah satu dari empat pulau terbesar di provinsi tersebut. Populasi Sumba hanya 656.259 jiwa dengan kepadatan 58,62 penduduk per kilometer persegi.
Berdasar laporan studi Hivos, kegiatan ekonomi terbatas di Pulau Sumba. Tahun 2008 pendapatan per kapita rata-rata kabupaten di sini sekitar Rp1,9 juta, jauh di bawah rata-rata pendapatan per kapita nasional pada tahun sama adalah Rp8,01 juta.
Di samping itu ketidaktersediaan energi di rumah juga secara tidak langsung menjadi penghalang bagi sebagian besar anak-anak Sumba untuk berprestasi. “Pulau Ikonis Sumba harus menjadi model di mana semua pemangku kepentingan terlibat mendukung, dan dapat dicontoh, direplikasi di wilayah terpencil lain,” tambah Eco.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar